Penjajahan Belanda
Sejak zaman Hindia Belanda, di Nusantara berlaku Mijnwet dengan semua peraturan pelaksanaan dan perubahannya sehingga pengesahan pertambangan minyak dan gas bumi menggunakan sistem Kontrak 5A yang pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari Mijnwet. Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan beberapa peraturan perlaksanaan, antara lain Petroleumopslag Ordonantie pada tahun 1927, dan Mijnordonantie pada tahun 1930, serta Mijnpolitiereglement pada tahun yang sama. Mijnordonantie yang telah diubah dan disempurnakan pada tahun 1935, merupakan peraturan pelaksanaan Mijnwet secara umum. Mijnpolitiereglement merupakan peraturan keselamatan kerja yang berlaku dalam bidang pertambangan termasuk minyak dan gas bumi. Petroleumopslag Ordonantie yang telah diubah dan disempurnakan dalam tahun 1930, 1931, 1935 dan 1940, mengatur penimbunan minyak dan gas bumi.
Dalam Mijnwet tidak dibedakan antara minyak dan gas bumi dengan bahan galian lainnya. Oleh sebab itu, pengusahaan kedua bahan tambang ini diatur berdasarkan asas hukum yang sama, kecuali segi teknik yang memerlukan pengaturan terpisah. Berdasarkan Mijnwet, konsesi untuk mengusahakan bahan galian tertentu dapat diberikan baik kepada perseorangan maupun perusahaan swasta dengan membayar royalty. Pemegang konsesi mempunyai hak untuk melaksanakan penambangan dalam wilayah konsesinya selama 75 tahun. Dalam tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda menambahkan Pasal 5A pada Mijnwet. Perubahan ini cukup mendasar, karena ketentuan baru ini pada dasarnya Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan sendiri usaha pertambangan, termasuk pertambangan minyak dan gas bumi.
Dalam pelaksanaannya, kontrak dengan perusahaan minyak dalam bentuk Kontrak 5A dapat berupa kontrak 5A Ekplorasi (5AE) atu Kontrak 5A Eksplorasi dan Eksploitasi (5AEE). Kontrak 5A memuat persyaratan tertentu, antara lain jangka waktu berlakunya 40 tahun. Berbeda dengan konsesi, Kontrak 5A dimuat dalam Staatsblad (Lembaran Negara), karena minyak dan gas bumi dianggap sebagai bahan galian yang penting bagi negara. Sejak tahun itu dibedakan antara pengelolaan bahan galian minyak dan gas bumi dan bahan galian usaha pertambangan lainnya yang masih menggunakan dasar konsesi murni.
Jaman Penjajahan Jepang 1942-1945
Jepang tidak membuat UU sendiri baik di bidang pertambangan maupun kelistrikan
Jaman Proklamasi
Semenjak Proklamasi Kemerdekaan dan Indonesia mempunyai UUD 1945 yang berlaku sejak 18 Agustus 1945, Undang-undang pertambangan pada masa Hindia Belanda masih tetap diberlakukan untuk waktu yang cukup lama, meskipun dirasakan tidak sesuai dengan prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Usaha Pemerintah menggantikan Mijnwet telah dimulai sejak adanya Mosi Teuku Moehammad Hasan dan kawan-kawan pada tahun 1951, yang diikuti dibentuknya Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP). Salah satu tugas PNUP adalah mempersiapkan undang-undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan alam kemerdekaan berdasarkan ekonomi nasional. Panitia ini berhasil menyusun rancangan undang-undang (RUU) pertambangan, namun sampai PNUP bubar, RUU ini tidak pernah menjadi undang-undang karena banyaknya kepentingan politik pada masa itu.
Setelah Presiden mendekritkan berlakunya UUD 1945, maka berlakulah UU No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Selain itu juga diterbitkan UU No. 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak memenuhi Kebutuhan Dalam negeri. Semenjak itu untuk bidang perminyakan tidak berubah sampai adanya UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina (Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara)
Krisis moneter di Indonesia yang terjadi pada tahun 1997 memberikan dampak yang luas pada pereknomian nasional, yang mengakibatkan berakhirnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998 dan memasuki masa reformasi. Beberapa situasi penting yang berubah, menyangkut perubahan lingkungan strategis, antara lain, semangat otonomi daerah, globalisasi, hak asasi manusia, hak atas kekayaan intelektual, demokratisasi dan lingkungan hidup. Perubahan-perubahan itu diantisipasi oleh Pemerintah dalam berbagai kebijakan. Dalam bidang perundang-undangan telah berhasil diterbitkan beberapa undang-undang, yaitu : untuk bidang minyak dan gas bumi, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, menggantikan UU No. 44 Prp Tahun 1960, UU No. 15 Tahun 1962 dan UU No. 8 Tahun 1971. UU No. 22 Tahun 2001 diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi, dan dalam putusannya undang-undang ini tidak bertentangan dengan UUD 1945, kecuali beberapa bagian dari pasal-pasalnya dinyatakan tidak berlaku.
Selain undang-undang tersebut, sampai awal tahun 2009 telah disahkan empat undang-undang, yaitu UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta UU no. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
(Dari Buku Mineral dan Energi Kekayaan Bangsa, Sejarah Pertambangan dan Energi Indonesia, Editor : Djoko Darmono, Penerbitan dan Publikasi Departemen Energi Sumber Daya Mineral, 2009)