Draft RUU Minyak & Gas Bumi (Hak Inisiatif) DPR RI terkait Hilir Migas

DRAFT RUU MINYAK & GAS BUMI

HAK INISIATIF DPR RI  TERKAIT KEGIATAN HILIR MIGAS

 

Oleh : Siraj El Munir Bustami

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

DPR RI telah mengirimkan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi kepada Pemerintah yang merupakan Hak Inisiatif DPR RI pada tahun 2018. Informasi yang didapat RUU ini masuk pada Prolegnas 2021 dan akan dibahas bersama dengan Pemerintah.

UU No. 22 Tahun 2001 sudah berlangsung 19 tahun dan telah 4 kali di Uji Materilkan di MK. Ada 2 kali yang berhasil dikabulkan sebagian dan 2 kali tak dikabulkan. Ada sekitar 12 pasal yang telah tak berlaku ketentuan hukumnya. Pemerintah pun telah melayangkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sampai saat ini masih dibahas oleh DPR RI. Dimana ada ketentuan yang diubah, dihapus dan ditambah terkait UU No. 22 Tahun 2001 baik dibidang hulu dan hilir migas.

Tujuan

Draft RUU ini sudah diampaikan DPR RI maka terkait di Kegiatan Usaha Hilir Migas yang selama ini diatur melalui UU No. 22 Tahun 2001 maka akan dicermati. Adakah yang diubah, ditambah atau dihapus ketentuan yang terkait dengan Kegiatan Usaha Hilir Migas yang diatur pada UU No. 22 Tahun 2001 pada RUU Migas ini?

 

ISI RUU MINYAK DAN GAS BUMI TERKAIT KEGIATAN HILIR MIGAS

 Berikut pasal-pasal yang ditebalkan yang terkait dengan kegiatan hilir migas

 

 

 

 

 

RANCANGAN

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …

TENTANG

MINYAK DAN GAS BUMI

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

Menimbang : a.     bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis yang tidak terbarukan untuk mendukung dan menjamin ketahanan dan kemandirian energi nasional;
  b.

 

bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
  c. bahwa kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, berkelanjutan, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional;
  d. bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang yang baru;
  e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan  huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi;

 

Mengingat:       Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:    UNDANG-UNDANG TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI.

 

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, kondensat, bitumen dan shale oil yang diperoleh dari penambangan secara konvensional dan/atau non konvensional tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat.
  2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi yang diperoleh dari penambangan secara konvensional dan/atau non konvensional.
  3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi.
  4. Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi.
  5. Bahan Bakar Gas adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Gas Bumi dan gasifikasi batu bara.
  6. Kuasa Pertambangan Minyak dan Gas Bumi adalah kuasa yang diberikan negara kepada Pemerintah Pusat.
  7. Kuasa Usaha Pertambangan adalah kuasa yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada BUK Minyak dan Gas Bumi untuk melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir Minyak dan Gas Bumi.
  8. Badan Usaha Khusus Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disingkat BUK Migas adalah badan usaha milik negara yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang ini untuk melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir Minyak dan Gas Bumi yang seluruh modal dan kekayaannya dimiliki oleh negara.
  9. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disingkat BPH Migas adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir
  10. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara baik melalui penyertaan langsung maupun tidak langsung yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta yang berasal dari non anggaran pendapatan belanja negara, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan pengelolaannya.
  11. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Daerah.
  12. Kontraktor Kontrak Kerja Sama adalah BUMN, BUMD, perusahaan swasta nasional,perusahaan swasta asing, atau koperasi yang melakukan Kontrak Kerja Sama dengan BUK Migas pemegang kuasa usaha pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
  13. Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi di luar wilayah kerja.
  14. Cadangan Minyak dan Gas Bumi adalah cadangan yang masih berupa sumber daya, cadangan potensial, dan cadangan terbukti Minyak dan Gas Bumi yang berasal dari perut bumi Indonesia yang sudah diketahui lokasi dan jumlahnya.
  15. Cadangan Strategis Minyak Mentah adalah jumlah kuota Minyak Bumi untuk ketahanan energi nasional.
  16. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang meliputi kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi.
  17. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang meliputi kegiatan usaha pengolahan, transmisi, pengangkutan, penyimpanan, niaga, distribusi, dan pemasaran.
  18. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di wilayah kerja yang ditentukan.
  19. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan atau memproduksi Minyak dan Gas Bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan produksi serta kegiatan lain yang mendukungnya.
  20. Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau gas bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan di lapangan produksi di wilayah kerja.
  21. Transmisi adalah kegiatan usaha penyaluran Minyak dan Gas Bumi dari sumber produksi melalui pipa atau bukan sarana transportasi.
  22. Distribusi adalah kegiatan usaha penyaluran Minyak dan Gas Bumi melalui pipa dan sarana angkutan atau transportasi.
  23. Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari wilayah kerja atau dari tempat penampungan dan pengolahan, termasuk pengangkutan gas bumi melalui pipa transmisi dan distribusi.
  24. Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan dan penampungan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.
  25. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak dan Gas Bumi dan/atau hasil olahannya.
  26. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, landas kontinen Indonesia, dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.
  27. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
  28. Kontrak Kerja Sama adalah kontrak yang dibuat oleh BUK Migas dan kontraktor Migas dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan negara.
  29. Izin Usaha adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada badan usaha untuk melaksanakan pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.
  30. Neraca Minyak dan Gas Bumi adalah data dan perkiraan kebutuhan dan pasokan Minyak dan Gas Bumi dalam negeri untuk jangka waktu tertentu.
  31. Alokasi Minyak dan Gas Bumi adalah sejumlah volume tertentu Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan/atau ekspor dalam jangka waktu tertentu.
  32. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  33. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  34. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  35. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
  36. Setiap Orang adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau korporasi.

 

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

 

Pasal 2

Penyelenggaraan kegiatan penguasaan dan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi berasaskan kedaulatan dan kemandirian energi nasional, keberlanjutan, ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan.

 

Pasal 3

Penyelenggaraan kegiatan penguasaan dan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi bertujuan:

  1. menjamin ketahanan dan kemandirian energi nasional;
  2. mengembangkan dan memberi nilai tambah atas sumber daya Minyak dan Gas Bumi nasional;
  3. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi yang dikuasai dan dimiliki oleh negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan;
  4. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui pengelolaan secara terkoordinasi oleh Pemerintah Pusat melalui BUK Migas;
  5. menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak dan Gas Bumi baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri;
  6. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional di bidang Minyak dan Gas Bumi untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
  7. memposisikan Minyak dan Gas Bumi sebagai modal pembangunan berkelanjutan yang mendukung perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia;
  8. menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup;
  9. menjamin akses masyarakat untuk mendapatkan produk Minyak dan Gas Bumi; dan
  10. menjamin perlindungan bagi rakyat terhadap mutu bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Gas.

 

BAB III

PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN

 

Bagian Kesatu

Penguasaan

 

Pasal 4

  • Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan dimiliki oleh negara.
  • Penguasaan Minyak dan Gas Bumi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sebagai pemegang Kuasa Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
  • Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan.

 

Bagian Kedua

Pengusahaan

 

Paragraf 1

Pelaksanaan Pengusahaan

 

 

 

Pasal 5

  • Pengusahaan sebagai perwujudan dari penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, meliputi seluruh Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
  • Pemerintah Pusat sebagai pemegang Kuasa Pertambangan Minyak dan Gas Bumi memberikan Kuasa Usaha Pertambangan kepada BUK Migas.
  • Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh BUK Migas.
  • Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh BUK Migas, BUMN, BUMD, perusahaan swasta nasional, badan usaha swasta asing, dan koperasi.
  • Kegiatan usaha penunjang hulu dan hilir minyak dan Gas Bumi pengaturannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

 

Paragraf 2

Cadangan Minyak dan Gas Bumi

 

Pasal 6

  • Pemerintah Pusat melalui BUK Migas wajib menetapkan dan meningkatkan temuan Cadangan Minyak dan Gas Bumi terbukti untuk kepentingan nasional di seluruh wilayah Indonesia.
  • Pemerintah Pusat wajib menetapkan cadangan strategis, cadangan penyangga, dan cadangan operasional Minyak dan Gas Bumi untuk kepentingan nasional di seluruh wilayah Indonesia.
  • Ketentuan mengenai penetapan dan peningkatan temuan cadangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan cadangan strategis, penyangga, dan operasional Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan P

 

Paragraf 3

Ketersediaan dan Penyaluran Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Gas

 

Pasal 7

Pemerintah Pusat wajib menjamin ketersediaan dan penyaluran Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan Gas Bumi yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

BAB IV

KEGIATAN USAHA HULU

 

Bagian Kesatu

Umum

 

 

Pasal 8

Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi mencakup Eksplorasi dan Eksploitasi.

 

Pasal 9

Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi merupakan objek vital nasional yang harus dilindungi oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Kedua

Wilayah Kerja

 

Pasal 10

  • Pemerintah Pusat menyiapkan Wilayah Kerja yang akan diusahakan oleh BUK Migas.
  • Batas dan syarat Wilayah Kerja yang akan diusahakan BUK Migas, ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.
  • Menteri sebelum menyampaikan usulan kepada Presiden melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Pasal 11

  • Untuk menunjang penyiapan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), dilakukan Survei Umum yang dilaksanakan oleh Menteri atau oleh kementerian/lembaga lainnya dengan izin dari Menteri.
  • Pelaksanaan Survey Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat menghasilkan informasi dasar mengenai kandungan kekayaan alam Minyak dan Gas Bumi di dalam perut bumi.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pelaksanaan Survei Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 12

  • Data yang diperoleh dari Survei Umum serta Eksplorasi dan Eksploitasi adalah milik negara yang dikuasai oleh Pemerintah Pusat.
  • Data yang diperoleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama di wilayah kerjanya setelah Eksplorasi dan selama Eksploitasi diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
  • Apabila Kontrak Kerja Sama berakhir, Kontraktor Kontrak Kerja Sama wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh selama masa Kontrak Kerja Sama kepada Pemerintah Pusat.
  • Pemerintah Pusat mengelola dan memanfaatkan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk merencanakan penyiapan pembukaan Wilayah Kerja.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai data Survei Umum dan data Eksplorasi dan Eksploitasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

 

Bagian Ketiga

Kontrak Kerja Sama

 

Pasal 13

  • Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan oleh BUK Migas sebagai pemegang Kuasa Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, baik secara mandiri dan/atau melalui Kontrak Kerja Sama.
  • Kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
    1. pembagian hasil berdasarkan produksi bruto (gross split);
    2. kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract); atau
    3. bentuk lain.
  • Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menguntungkan negara.
  • Jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun.
  • Dalam hal jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, Wilayah Kerja dikembalikan kepada Presiden melalui Menteri.
  • Dalam hal Kontraktor Kontrak Kerja Sama mengajukan perpanjangan kontrak, permohonan disampaikan kepada Menteri paling lambat 8 (delapan) tahun sebelum masa berakhirnya Kontrak Kerja Sama.
  • Perpanjangan Kontrak Kerja Sama hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali paling lama 20 (dua puluh)
  • Menteri memberikan jawaban atas permohonan pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Kontraktor Kontrak Kerja Sama mengajukan perpanjangan kontrak.
  • Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan:
    1. kepemilikan sumber daya alam sampai pada titik penyerahan tetap di tangan negara yang dikelola oleh Pemerintah Pusat dikuasakan pengusahaannya pada pemegang Kuasa Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
    2. dalam hal kontrak kerja sama berbentuk kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract) pengendalian manajemen operasi Kegiatan Usaha Hulu tetap berada pada pemegang Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
    3. evaluasi Kontrak Kerja Sama untuk menjaga agar negara tetap diuntungkan, apabila terjadi perubahan harga Migas di pasaran dunia.
    4. Jika pejabat BUK Migas membuat Kontrak Kerja Sama yang tidak menguntungkan negara maka kontrak dapat ditinjau kembali.
  • Pengendalian manajemen operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b meliputi pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan, serta pengawasan terhadap realisasi dari rencana tersebut.

 

Pasal 14

  • Setiap Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada alat kelengkapan DPR yang membidangi sektor energi dan sumber daya mineral.
  • Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Kontrak Kerja Sama ditandatangani.
  • Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat paling sedikit:
    1. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
    2. jangka waktu dan kondisi perubahan serta perpanjangan kontrak;
    3. berakhirnya kontrak;
    4. kewajiban pengeluaran dana;
    5. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
    6. penerimaan negara;
    7. pembukuan aset;
    8. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
    9. rencana pengembangan lapangan;
    10. penyelesaian perselisihan;
    11. kewajiban pasca operasi pertambangan;
    12. keselamatan dan kesehatan kerja;
    13. pengelolaan lingkungan hidup;
    14. pengalihan hak dan kewajiban;
    15. pelaporan yang diperlukan;
    16. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
    17. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak masyarakat adat;
    18. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia khususnya tenaga kerja lokal yang memenuhi syarat; dan
    19. pengumpulan data dan penyerahan salinan asli data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

 

Pasal 15

Ketentuan lebih lanjut mengenai Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Keempat

Partisipasi Interes

 

Pasal 16

  • BUK Migas, BUMN, perusahaan swasta nasional, badan usaha swasta asing, dan koperasi yang mengusahakan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 memberikan partisipasi interes 10% (sepuluh persen) kepada BUMD.
  • Partisipasi interes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
    1. hibah;
    2. pembagian keuntungan; atau
    3. bentuk lain.
  • BUMD yang menerima hak partisipasi interes dari BUK Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengalihkan atau memindahtangankan hak partisipasi interes sebagian atau seluruhnya kepada pihak ketiga.

 

Bagian Kelima

Pengembalian Biaya Eksplorasi dan Eksploitasi (Cost Recovery)

 

Pasal 17

  • Kontraktor Kontrak Kerja Sama mendapatkan kembali biaya operasi sesuai dengan Kontrak Kerja Sama setelah menghasilkan produksi komersial.
  • Biaya operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan selain untuk kegiatan operasi Minyak dan Gas Bumi sesuai dengan Kontrak Kerja Sama.
  • Biaya operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit:
    1. biaya Eksplorasi;
    2. biaya Eksploitasi;
    3. biaya untuk memindahkan Minyak dan Gas Bumi dari titik produksi ke titik penyerahan; dan
    4. biaya reklamasi atau pemulihan area tambang pasca operasi produksi.
  • Dalam hal Wilayah Kerja tidak menghasilkan produksi komersial, terhadap seluruh biaya operasi yang telah dikeluarkan, sepenuhnya menjadi risiko dan beban Kontraktor Kontrak Kerja Sama dan tidak ditanggung oleh negara.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB V

KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK BUMI

 

Bagian Kesatu

Umum

 

Pasal 18

  • Kegiatan Usaha Hilir Minyak Bumi mencakup Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, Distribusi, dan Niaga.
  • Kegiatan Usaha Hilir Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh BUMN di bidang hilir Minyak Bumi, BUMD, badan usaha swasta nasional dan asing, dan/atau koperasi.
  • Jaringan distribusi Minyak Bumi dikuasai oleh negara dan dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui BUMN di bidang hilir Minyak Bumi untuk pelaksanaannya.

 

Bagian Kedua

Izin Usaha

 

Pasal 19

  • Kegiatan Usaha Hilir Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan dengan Izin Usaha.
  • Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat.
  • Izin usaha yang diperlukan untuk Kegiatan Usaha Hilir Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
    1. Izin Usaha Pengolahan;
    2. Izin Usaha Pengangkutan/Distribusi;
    3. Izin Usaha Penyimpanan;
    4. Izin Usaha Niaga; dan
    5. Izin Ekspor.
  • Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat ketentuan:
    1. nama penyelenggara;
    2. jenis usaha yang diberikan;
    3. kewajiban dalam pengusahaan;dan
    4. syarat-syarat teknis lain.
  • Setiap Izin Usaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya.

 

Pasal 20

Terhadap kegiatan pengolahan di lapangan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi yang dilakukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama tidak diperlukan Izin Usaha tersendiri.

 

Pasal 21

Pemerintah Pusat dalam memberikan Izin Usaha Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf d menetapkan wilayah usaha Niaga jenis Bahan Bakar Minyak di dalam negeri.

 

Bagian Ketiga

Standar, Mutu, dan Harga Bahan Bakar Minyak serta Hasil Olahan

 

Pasal 22

  • Bahan Bakar Minyak serta Hasil Olahan yang dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  • Pemerintah Pusat mengatur dan/atau menetapkan harga Bahan Bakar Minyak sama untuk seluruh wilayah Indonesia.
  • Untuk pemerataan akses yang sama terhadap Bahan Bakar Minyak, Pemerintah Pusat dapat menetapkan insentif bagi badan usaha yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hilir Minyak Bumi di daerah tertentu dan untuk golongan masyarakat tertentu.
  • Penetapan harga Bahan Bakar Minyak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.

 

Pasal 23

Harga bahan bakar minyak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (4) adalah untuk Bahan Bakar Minyak jenis tertentu, kecuali hasil olahan lainnya.

 

Bagian Keempat

Ketersediaan dan Penyaluran Bahan Bakar Minyak

 

Pasal 24

  • Pemerintah Pusat melalui BUK Migas wajib membangun infrastruktur kilang Bahan Bakar Minyak secara efisien sampai terpenuhinya seluruh kebutuhan Bahan Bakar Minyak dalam negeri.
  • Pemerintah Pusat melalui BUK Migas wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Pelaksanaan pembangunan infrastruktur kilang Bahan Bakar Minyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, badan usaha swasta nasional, badan usaha swasta asing, atau koperasi melalui mekanisme kerja sama dengan BUK Migas.
  • Pemenuhan kebutuhan Bahan Bakar Minyak melalui pembangunan infrastruktur kilang Bahan Bakar Minyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dibangun paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

Bagian Kelima

Pengaturan Lebih Lanjut

 

Pasal 25

Ketentuan lebih lanjut mengenai Kegiatan Usaha Hilir Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 24 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

BAB VI

KEGIATAN USAHA HILIR GAS BUMI

 

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 26

  • Kegiatan Usaha Hilir Gas Bumi mencakup Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, Distribusi, dan Niaga.
  • Kegiatan Usaha Hilir Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh BUMN di bidang hilir Gas Bumi, BUMD, badan usaha swasta nasional, dan/atau koperasi.
  • Jaringan distribusi Gas Bumi dikuasai oleh negara dan dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui BUMN untuk penyelenggaraannya.

 

Bagian Kedua

Izin Usaha

 

Pasal 27

  • Kegiatan Usaha Hilir Gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dilaksanakan dengan Izin Usaha.
  • Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat.
  • Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan wewenang pemberian Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Provinsi.
  • Izin Usaha yang diperlukan untuk Kegiatan Usaha Hilir Gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
  1. Izin Usaha Pengolahan;
  2. Izin Usaha Pengangkutan/Distribusi;
  3. Izin Usaha Penyimpanan;
  4. Izin Usaha Niaga; dan
  5. Izin E
  • Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat ketentuan:
  1. nama penyelenggara;
  2. jenis usaha yang diberikan;
  3. kewajiban dalam pengusahaan; dan
  4. syarat-syarat teknis lain.
  • Setiap Izin Usaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya.

 

Pasal 28

Terhadap kegiatan pengolahan di lapangan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi yang dilakukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama tidak diperlukan Izin Usaha tersendiri.

Pasal 29

  • Pemerintah Pusat dalam memberikan Izin Usaha Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf d menetapkan wilayah usaha Niaga Gas Bumi melalui pipa di dalam negeri berdasarkan pertimbangan dari BUMN di bidang Hilir Gas Bumi.
  • Terhadap badan usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi melalui jaringan pipa hanya dapat diberikan wilayah Niaga pada wilayah tertentu.

 

Bagian Ketiga

Standar, Mutu, Harga Gas Bumi dan Bahan Bakar Gas

 

Pasal 30

  • Bahan Bakar Gas yang dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  • Pemerintah Pusat mengatur dan/atau menetapkan harga Gas Bumi dan Bahan Bakar Gas untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Untuk pemerataan akses yang sama terhadap Bahan Bakar Gas, PemerintahPusat dapat menetapkan insentif bagi badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha pemasaran Bahan Bakar Gas di daerah tertentu dan untuk golongan tertentu.
  • Penetapan harga Gas Bumi dan Bahan Bakar Gas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.

 

Pasal 31

Dalam menetapkan harga Gas Bumi dan Bahan Bakar Gas yang dipasarkan di dalam negeri, pemerintah harus mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam negeri dan kemampuan daya beli masyarakat.

 

Bagian Keempat

Ketersediaan dan Penyaluran Gas Bumi dan Bahan Bakar Gas

 

Pasal 32

  • Pemerintah Pusat melalui BUK Migas wajib membangun infrastruktur pipa Gas Bumi secara efisien sampai terpenuhinya seluruh kebutuhan Bahan Bakar Gas dalam negeri.
  • Pemerintah Pusat melalui BUK Migas wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Gas Bumi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Pelaksanaan pembangunan infrastruktur Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan oleh BUMN, BUMD, badan usaha swasta nasional, badan usaha swasta asing, atau koperasi melalui mekanisme kerja sama dengan Unit Usaha Hilir Gas Bumi.

 

Bagian Kelima

Pengaturan Lebih Lanjut

 

 

 

 

Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai Kegiatan Usaha Hilir Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

BAB VII

KEGIATAN USAHA PENUNJANG MINYAK DAN GAS BUMI

 

Bagian Kesatu

Umum

 

Pasal 34

  • Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir didukung oleh kegiatan usaha penunjang.
  • Dalam pelaksanaan kegiatan usaha penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menjamin keselamatan pekerja, keselamatan instalasi, keselamatan lingkungan, dan keselamatan umum.

 

Pasal 35

BUMN, BUMD, badan usaha swasta nasional dan asing, dan koperasi dalam melakukan kegiatan usaha penunjang Minyak dan Gas Bumi wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

 

Pasal 36

Kegiatan usaha penunjang Minyak dan Gas Bumi wajib menjamin dan menerapkan keteknikan Minyak dan Gas Bumi.

 

Bagian Kedua

Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi

 

Pasal 37

Usaha penunjang Minyak dan Gas Bumi terdiri atas:

  1. usaha jasa penunjang Minyak dan Gas Bumi; dan
  2. usaha industri penunjang Minyak dan Gas Bumi.

 

Pasal 38

  • Usaha jasa penunjang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a meliputi:
  1. konsultansi dalam bidang instalasi fasilitas Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir;
  2. pembangunan dan pemasangan instalasi fasilitas Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir;
  3. pemeriksaan dan pengujian instalasi Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir;
  4. pengoperasian instalasi Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir;
  5. pemeliharaan instalasi Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir;
  6. penelitian dan pengembangan;
  7. pendidikan dan pelatihan;
  8. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir;
  9. sertifikasi peralatan dan pemanfaat Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir;
  10. sertifikasi kompetensi tenaga teknik Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir; atau
  11. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir.
  • Usaha jasa penunjang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, perguruan tinggi negeri atau swasta, badan sertifikasi, badan usaha swasta, dan koperasi yang memiliki sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)  BUMN, BUMD, perguruan tinggi negeri atau swasta, badan sertifikasi, badan usaha swasta, dan koperasi dalam melakukan usaha jasa penunjang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

 

Pasal 39

(1)  Usaha industri penunjang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b meliputi:

  1. usaha industri peralatan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir; dan/atau
  2. usaha industri pemanfaat Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir.
    • Usaha industri penunjang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, badan usaha swasta, dan koperasi.
    • BUMN, BUMD, badan usaha swasta, dan koperasi dalam melakukan usaha industri penunjang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
    • Kegiatan usaha industri penunjang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Ketiga

Izin Usaha Penunjang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir

 

Pasal 40

(1)  Usaha jasa penunjang dan usaha industri penunjang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 harus mendapat izin usaha dari Pemerintah Pusat.

(2)  Penetapan izin usaha jasa penunjang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dan izin usaha industri penunjang Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Keempat

Pengaturan Lebih Lanjut

 

Pasal 41

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha penunjang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 40 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB VIII

KAPASITAS NASIONAL

 

Pasal 42

Dalam melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta kegiatan usaha penunjang, BUMN, BUMD, badan usaha swasta, dan/atau koperasi wajib meningkatkan kapasitas nasional melalui:

  1. penggunaan tenaga kerja Indonesia;
  2. penggunaan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
  3. penggunaan perbankan dan asuransi nasional;
  4. alih ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Minyak dan Gas Bumi kepada perusahaan mitranya;
  5. pengembangan masyarakat sekitar; dan
  6. penggunaan Standar Nasional Indonesia dan penerapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.

 

BAB IX

BADAN USAHA KHUSUS MINYAK DAN GAS BUMI

 

Pasal 43

  • Untuk pengusahaan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dibentuk BUK Migas berdasarkan Undang-Undang ini.
  • BUK Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh hak untuk:
  1. pengusahaan atas manfaat ekonomi atau prospek usaha terhadap semua cadangan terbukti Minyak dan Gas Bumi; dan
  2. pengusahaan hulu dan hilir Minyak dan Gas Bumi.

 

Pasal 44

BUK Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) berkedudukan dan berkantor pusat di ibu kota negara dan dapat membentuk kantor perwakilan di daerah.

 

 

Pasal 45

  • BUK Migas berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengendalikan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
  • Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUK Migas bertugas:
  1. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;
  2. mewakili negara sebagai pemegang kuasa usaha pertambangan dalam menandatangani Kontrak Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
  3. melakukan seleksi terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama untuk pengusahaan Wilayah Kerja;
  4. merencanakan dan menyiapkan Cadangan Minyak dan Gas Bumi;
  5. merencanakan dan meningkatkan temuan cadangan terbukti Minyak dan Gas Bumi; dan
  6. mengkoordinasikan, mensinergikan, dan mengendalikan kegiatan usaha hilir Minyak dan Gas Bumi yang dilakukan oleh BUMN, BUMD, badan usaha swasta nasional, badan usaha swasta asing, dan

 

Pasal 46

  • Organisasi BUK Migas terdiri atas:
    1. dewan pengawas; dan
    2. dewan d
  • Dewan pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) berjumlah 7 (tujuh) orang yang terdiri dari:
  1. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota;
  2. 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota; dan
  3. 5 (lima) orang anggota.
  • Dewan direksi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b berjumlah 7 (tujuh) orang yang terdiri dari:
    1. 1 (satu) orang direktur utama;
    2. 1 (satu) orang wakil direktur utama; dan
    3. 5 (lima) orang direktur.
  • Dewan pengawas dan dewan direksi yang sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah.
  • Dalam menetapkan direktur utama sebagaimana dimaksud ayat (4) Pemerintah berkonsultasi kepada DPR.

 

Pasal 47

Ketentuan lebih lanjut mengenai BUK Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB X

BADAN PENGATUR HILIR MINYAK DAN GAS BUMI

 

 

Pasal 48

  • BPH Migas berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa.
  • Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BPH Migas bertugas melakukan pengaturan dan penetapan mengenai:
    1. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak;
    2. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional;
    3. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak;
    4. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;
    5. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; dan
    6. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.
  • Dalam menetapan kuota impor Bahan Bakar Minyak, Pemerintah Pusat berkonsultasi kepada BPH Migas.

 

Pasal 49

  • Struktur BPH Migas terdiri atas komite dan bidang.
  • Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan 8 (delapan) orang anggota, yang berasal dari tenaga profesional.
  • Ketua dan anggota Komite BPH Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
  • BPH Migas bertanggung jawab kepada Presiden.
  • Pembentukan BPH Migas ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

 

Pasal 50

Anggaran biaya operasional BPH Migas didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan iuran dari badan usaha yang diaturnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Pasal 51

Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi, status, fungsi, tugas, personalia, wewenang dan tanggung jawab serta mekanisme kerja BPH Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 48 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB XI

ALOKASI DAN PEMANFAATAN MINYAK DAN GAS BUMI

 

Bagian Kesatu

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri

 

Pasal 52

  • Negara menjamin pemenuhan kebutuhan Minyak dan Gas Bumi dalam negeri berdasarkan Kebijakan Energi Nasional.
  • Jaminan pemenuhan kebutuhan Minyak dan Gas Bumi dalam negeri dilaksanakan oleh Pemerintah melalui BUK Migas.

 

 

Bagian Kedua

Alokasi dan Pemanfaatan Minyak Bumi

 

Pasal 53

  • Seluruh produksi Minyak Bumi diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri.
  • Pemerintah Pusat menetapkan alokasi dan pemanfaatan Minyak Bumi untuk kebutuhan dalam negeri.

 

Pasal 54

  • Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan jumlah kuota ekspor Minyak Bumi setelah terpenuhinya kebutuhan pasar dalam negeri.
  • Ekspor Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh BUK Migas.
  • Apabila produksi Minyak Bumi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri dapat dilakukan impor Minyak Bumi.
  • Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan jumlah kuota impor Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setiap tahun.
  • Dalam menetapkan jumlah kuota impor Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Pusat berkonsultasi kepada DPR.
  • Impor Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh BUK Migas.

 

Pasal 55

Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi dan pemanfaatan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan ekspor dan impor Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Ketiga

Alokasi Dan Pemanfaatan Gas Bumi

 

Pasal 56

  • Seluruh produksi Gas Bumi diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
  • Pemerintah Pusat menetapkan jumlah alokasi dan pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
  • Penetapan alokasi dan pemanfaatan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan prioritas pada sektor energi, sektor industri, dan sektor rumah tangga.

 

Pasal 57

  • Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan jumlah kuota ekspor Gas Bumi setelah terpenuhinya kebutuhan dalam negeri dan berdasarkan rencana induk infrastruktur Gas Bumi dan neraca Gas Bumi.
  • Ekspor Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh BUK Migas.
  • Apabila produksi Gas Bumi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri, dapat dilakukan impor Gas Bumi.
  • Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan jumlah kuota impor Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setiap tahun.
  • Dalam menetapkan jumlah kuota impor Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Pusat berkonsultasi kepada DPR.
  • Impor Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh BUK Migas.

 

BAB XII

NERACA MINYAK DAN GAS BUMI

DAN RENCANA INDUK INFRASTRUKTUR GAS BUMI

 

Bagian Kesatu

Neraca Minyak dan Gas Bumi

 

Pasal 58

  • Untuk kepentingan ketahanan energi dan kemandirian energi nasional, Menteri menyusun dan membuat Neraca Minyak dan Gas Bumi setelah terlebih dahulu memperhitungkan potensi, cadangan terbukti, produksi (lifting), dan kebutuhan riil Minyak dan Gas Bumi dalam negeri berdasarkan Kebijakan Energi Nasional.
  • Neraca Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dan ditetapkan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat dievaluasi setiap tahun.
  • Neraca Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

 

Bagian Kedua

Rencana Induk Infrastruktur Minyak dan Gas Bumi

 

Pasal 59

  • Untuk melaksanakan neraca Minyak dan Gas Bumi, Menteri menyusun dan membuat rencana induk infrastruktur Gas Bumi berdasarkan Kebijakan Energi Nasional.
  • Rencana induk infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dan ditetapkan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat dievaluasi setiap tahun.
  • Rencana induk infrastruktur Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan

 

BAB XIII

PENERIMAAN NEGARA

 

Bagian Kesatu

Penerimaan Pajak dan Bukan Pajak

Pasal 60

  • BUK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang sudah menghasilkan produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi wajib membayar pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
  • Jenis dan besaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. hasil penjualan Minyak dan Gas Bumi bagian negara;
    2. pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran produksi; dan/atau
  • Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipungut oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dari BUK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama dan disetorkan ke kas negara.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan negara bukan pajak dari Minyak dan Gas Bumi diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

 

Pasal 61

Selain kewajiban membayar peneriman negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), BUKMigas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama wajib membayar bea masuk impor dan pungutan lain atas impor, serta cukai.

 

Bagian Kedua

Bagian Daerah

 

Pasal 62

  • Daerah penghasil Minyak dan Gas Bumi berhak mendapatkan bagi hasil bersih dari produksi Minyak dan Gas Bumi bagian negara.
  • Selain berhak mendapatkan bagi hasil bersih produksi Minyak dan Gas Bumibagian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), daerah penghasil Minyak dan Gas Bumi berhak mendapatkan jumlah persentase sebesar 10% (sepuluh persen) dari bonus tanda tangan kontrak kerja sama yang diterima oleh Pemerintah Pusat.
  • Pemerintah Daerah penghasil Minyak dan Gas Bumi berkewajiban mendukung kelancaran dan kelangsungan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi di daerahnya.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai bagian daerah yang berupa hak dan kewajiban diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

BAB XIV

DANA MINYAK DAN GAS BUMI

 

 

 

Pasal 63

  • Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, dan BUKMigas wajib mengelola dana Minyak dan Gas Bumi secara bersama-sama dalam sebuah rekening bersama secara transparan dan akuntabel.
  • Dana Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk kegiatan yang berkaitan dengan penggantian Cadangan Minyak dan Gas Bumi melalui kegiatan Eksplorasi, pengembangan infrastruktur Minyak dan Gas Bumi, serta penelitian dan pengembangan Minyak dan Gas Bumi.
  • Dana Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari persentase tertentu:
    1. hasil penerimaan bersih Minyak dan Gas Bumi bagian negara;
    2. bonus yang menjadi hak Pemerintah Pusat berdasarkan Kontrak Kerja Sama dan Undang-Undang ini; dan
    3. pungutan dan iuran yang menjadi hak negara berdasarkan peraturan perundang-unda

 

Pasal 64

Pengusahaan dana Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 wajib diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.

 

Pasal 65

Ketentuan lebih lanjut mengenai dana Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

BAB XV

HAK ATAS TANAH PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

 

Pasal 66

  • Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia.
  • Hak atas wilayah kerja tidak meliputi hak atas tanah di permukaan bumi dan hak atas permukaan laut sampai di dasar laut.
  • Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi mendapat prioritas utama dalam penggunaan tanah di permukaan bumi, apabila:
    1. terdapat potensi Minyak dan Gas Bumi yang terkandung di dalam tanah; dan
    2. terjadi tumpang tindih penggunaan atau pemanfaatan tanah dengan kawasan hutan, industri, atau sektor lain.
  • BUKMigas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama dapat melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah mendapat izin penggunaan kawasan hutan dan izin lingkungan dari instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tentang kehutanan, undang-undang tentang lingkungan hidup, dan undang-undang lain.
  • Pengadaan tanah oleh BUKMigas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama untuk kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 67

Dalam hal BUKMigas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama akan menggunakan bidang tanah milik negara di dalam Wilayah Kerjanya, BUKMigas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atas tanah negara atau pemakai tanah di atas tanah negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 68

  • Dalam hal BUKMigas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama telah diberikan Wilayah Kerja dan telah menandatangani Kontrak Kerja Sama, BUKMigas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama langsung memiliki hak pakai atas tanah untuk kegiatan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan areal pengamanannya sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini.
  • BUK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama wajib mengembalikan sebagian tanah yang tidak digunakan di dalam suatu Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Presiden melalui Menteri.

 

BAB XVI

PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN KESELAMATAN

 

Pasal 69

  • BUK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama wajib menjamin standar dan mutu pengelolaan lingkungan hidup serta keselamatan dan kesehatan kerja.
  • Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.
  • BUK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Samayang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi wajib bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan lingkungan hidup, keselamatan dan kesehatan kerja dalam kegiatan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

BAB XVII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

 

Bagian Kesatu

Pembinaan

 

Pasal 70

Pemerintah Pusat melalui Menteri melakukan pembinaan terhadap seluruh kegiatan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi.

Pasal 71

  • Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71meliputi:
    1. penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
    2. pengkoordinasian kebijakan dan kegiatan terkait pelaksanaan kebijakan energi nasional dan ketahanan energi nasional;
  • Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan asas sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 dan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3.

 

Bagian Kedua

Pengawasan

 

Pasal 72

Pemerintah Pusat melalui Menteri melakukan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan penguasaan dan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi, baik Kegiatan Usaha Hulu, Kegiatan Usaha Hilir, dan kegiatan usaha penunjang Minyak dan Gas Bumi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan undang-undang lain.

 

Pasal 73

  • Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dilakukan meliputi:
  1. pelaksanaan kegiatan usaha hilir Minyak dan Gas Bumi berdasarkan Izin Usaha dan peruntukannya;
  2. pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;
  3. pelaksanaan pembangunan infrastruktur Minyak dan Gas Bumi;
  4. pelaksanaan konservasi energi;
  5. pengelolaan data Minyak dan Gas Bumi;
  6. penerapan kaidah keteknikan di bidang pertambangan yang baik;
  7. jenis, dan standar mutu produk hasil olahan Minyak dan Gas Bumi;
  8. alokasi dan distribusi Bahan Bakar Minyak, Gas Bumi, dan Bahan Bakar Gas;
  9. keselamatan dan kesehatan kerja;
  • Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara periodik kepada Presiden.

 

Pasal 74

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 73 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

BAB XVIII

PENYIDIKAN

 

 

 

Pasal 75

  • Selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Minyak dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
  • Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

 

BAB XIX

LARANGAN

 

Pasal 76

Setiap Orang dilarang tanpa hak melakukan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).

 

Pasal 77

Setiap Orang dilarang tanpa hak memiliki, menggunakan, memanfaatkan membuka rahasia, dan/atau menginformasikan kepada pihak ketiga data Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dalam bentuk apapun.

 

Pasal 78

Setiap Orang dilarang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa mempunyai Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).

 

Pasal 79

Setiap Orang dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tanpa Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 26.

 

 

Pasal 80

Setiap orang dilarang  mengurangi standar dan mutu Minyak  dan Gas Bumi yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (1).

 

Pasal 81

Setiap orang dilarang menyalahgunakan Izin Usaha sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) dan Pasal 27 ayat (5).

 

 

BAB XX

KETENTUAN PIDANA

 

Pasal 82

  • Setiap Orang yang tanpa hak melakukan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang tanpa hak memiliki, menggunakan, memanfaatkan dan/atau membuka rahasia data Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

 

Pasal 83

Setiap Orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa mempunyai Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah).

 

Pasal 84

Setiap Orang yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah).

 

Pasal 85

Setiap Orang yang mengurangi standar dan mutu Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 80 dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).

 

Pasal 86

Setiap Orang yang menyalahgunakan Izin Usaha sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).

 

 

Pasal 87

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh pejabat yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Minyak dan Gas Bumi, pidananya ditambah sepertiga dari paling tinggi pidana yang diancamkan.

 

 

 

Pasal 88

Selain ketentuan pidana, dikenai pula pidana tambahan berupa pencabutan hak atau perampasan barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

 

BAB XXI

KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 89

  • Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi tetap melaksanakan fungsi dan tugas sampai dengan terbentuknya BUK Migas.
  • Semua bentuk Kontrak Kerja Sama yang ada sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa kontrak dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

 

BAB XXII

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 90

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
  2. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

 

Pasal 91

BUK Migas dibentuk paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai diundangkan.

 

Pasal 92

  • Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai diundangkan.
  • Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan undang-undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat 3 (tiga) tahun sejak undang-undang ini berlaku.

 

Pasal 93

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

Disahkan di Jakarta

pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal …

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

YASONNA H. LAOLY

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN… NOMOR….

 

Jakarta, 10 September 2018

    Pimpinan Badan Legislasi DPR RI

Ketua,

 

 

 

  1. Supratman Andi Agtas, SH., MH.

A-388

 

Wakil Ketua,

 

 

 

Arif Wibowo

A-193

 

Wakil Ketua,

 

 

 

M. Sarmuji, SE., MS.i.

A-287

 

 

Wakil Ketua,

 

 

 

H. Totok Daryanto, SE.

A-489

 

 

Wakil Ketua,

 

 

 

Dr. H. Dossy Iskandar Prasetyo

A-554

 

 

PENJELASAN

ATAS

RANCANGAN UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR …TAHUN …

TENTANG

MINYAK DAN GAS BUMI

 

 

  1. UMUM

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mengingat Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dimiliki dan dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi belum mampu menjadikan industri Minyak dan Gas Bumi dalam menjaga ketahanan dan kemandirian energi nasional, sehingga perlu dilakukan perbaikan tata kelola Minyak dan Gas Bumi menyangkut antara lain regulasi tentang kelembagaan Minyak dan Gas Bumi, relugasi di sektor hulu dan hilir, fiskal, mempertegas pembagian kewenangan antara kelembagaan Minyak dan Gas Bumi dalam hal ini BUK Minyak dan Gas Bumi sebagai pemegang kuasa usaha pertambangan dengan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Di samping itu perubahan tata kelola Minyak dan Gas Bumi juga dimaksudkan untuk memperpendek rantai birokrasi, meningkatkan efisiensi biaya operasional di hulu, pemihakan terhadap pelaku usaha Minyak dan Gas Bumi dalam negeri khususnya BUMN dan BUMD, serta badan usaha swasta nasional, dan prioritas alokasi Minyak dan Gas Bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, baik sektor industri, energi listrik, sektor transportasi, dan konsumen rumah tangga.

Dalam uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (judicial review), Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa beberapa ketentuan dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumitersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945, sehingga perlu diubah.Berdasarkan hal‑hal tersebut di atas maka perlu disusun ulang suatu undang undang tentang Minyak dan Gas Bumi untuk memberikan landasan dan kepastian hukum bagi langkah‑langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi baik usaha hulu dan hilir.Penyusunan undang‑undang ini bertujuan antara lain:

  1. terlaksana dan terkendalinya Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan vital;
  2. meningkatkan produksi (lifting) Minyak dan Gas Bumi;
  3. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional (kapasitas dalam negeri) untuk lebih mampu bersaing dalam industri Minyak dan Gas Bumi;
  4. meningkatnya pendapatan negara;
  5. memberikan kontribusi yang sebesar‑besarnya bagi perekonomian nasional dan juga bagi kemakmuran dan kesejahteraa rakyat dan erta mengembangkan dan memperkuat industri dalam negeri;

6    menciptakan lapangan kerja bagi angkatan kerja Indonesia, dan menjaga serta memperbaiki lingkungan hidup.

Undang‑Undang ini memuat substansi hukum pokok mengenai ketentuan bahwa Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dimiliki dan dikuasai oleh negara. Dalam penyelenggaraanya dilakukan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan pada kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi. Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan menyerahkan pengelolaan atas Minyak dan Gas Bumi kepada BUKMigas.

Kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi dikuasakan kepada BUKMigas untuk dikelola, baik secara mandiri maupun melalui kerja sama. Namun tetap memprioritaskan kepada BUMN dalam pengusahaan wilayah kerja Minyak dan Gas Bumi di hulu. Sedangkan prinsip pengusahaan Minyak dan Gas Bumi di hilir adalah bersifat terbuka bagi pelaku usaha lain di luar BUMN berdasarkan mekanisme persaingan sehat. Dalam operasionalnya kegiatan usaha hilir tetap dikoordinasikan oleh BUKMigas.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar Minyak dan Gas Bumi di dalam negeri maka ditetapkan jumlah persentase minimal dari produksi Minyak dan Gas Bumi baik bagian negara maupun bagian kontraktor kontrak kerja sama. Sedangkan penetapan harga bahan bakar minyak jenis tertentu yang dipasarkan di dalam negeri, dan harga gas bumi untuk  konsumen tertentu ditetapkan oleh Pemerintah, setelah mendapat pertimbangan terlebih dahulu dari DPR. Penetapan harga gas bumi di luar konsumen rumah tangga ditetapkan oleh Pemerintah tanpa persetujuan atau pertimbangan dari DPR.

II. PASAL DEMI PASAL
 

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Yang dimaksud dengan asas ”kedaulatan dan kemandirian energi nasional” adalah pengendalian mutlak negara terhadap kekayaan alam yang dimiliki dan mengupayakan produksi Minyak dan Gas Bumi dari hasil dalam negeri sehingga tercapai ketahanan energi nasional dalam rangka ketahanan nasional.

Yang dimaksud dengan asas ”keberlanjutan” adalah asas dalam pengelolaan Minyak dan Gas Bumi yang harus menjamin penyediaan dan pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi untuk generasi sekarang dan yang akan datang.

Yang dimaksud dengan asas ”ekonomi kerakyatan” adalah pengusahaan Minyak dan Gas Bumi yang bertujuan untuk mewujudkan perekonomian kerakyatan, yaitu perekonomian yang disusun untuk kesejahteraan rakyat seluruhnya.

Yang dimaksud dengan asas ”keterpaduan” adalah bahwa dalam menjalankan usaha Minyak dan Gas Bumi bersama-sama, bersatu padu membangun dan memajukan industri tersebut untuk kepentingan bersama.

Yang dimaksud dengan asas ”manfaat” adalah bahwa kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia termasuk Minyak dan Gas Bumi harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Yang dimaksud dengan asas ”keadilan” adalah bahwa pengusahaan Minyak dan Gas Bumi akan selalu menjunjung tinggi keadilan dan persatuan, terutama keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Yang dimaksud dengan asas ”keseimbangan” adalah bahwa dalam pengusahaan Minyak dan Gas Bumi akan dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan negara dan juga kepentingan rakyatnya.

Yang dimaksud dengan asas ”pemerataan” adalah bahwa hasil dari pengusahaan Minyak dan Gas Bumi akan selalu digunakan secara merata untuk kepentingan rakyat dan semata-mata untuk kemakmuran rakyat Indonesia serta kemajuan Bangsa dan Negara Indonesia.

Yang dimaksud dengan asas “kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat” adalah bahwa inti dari pengusahaan Minyak dan Gas Bumi semata-mata digunakan untuk kemakmuran bersama dan juga untuk kesejahteraan rakyat banyak.

Yang dimaksud dengan asas “keamanan” adalah bahwa pedoman dalam hal melaksanakan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi akan selalu memperhatikan keamanan dalam bekerja untuk mencapai tujuan bersama bagi kepentingan rakyat.

Yang dimaksud dengan asas “keselamatan” adalah bahwa penyelenggaraan, pelaksanaan, dan pengendalian Minyak dan Gas Bumi harus dapat menjamin keselamatan dari ancaman bahaya baik yang disebabkan oleh alam, teknologi maupun perbuatan manusia.

Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah bahwa dalam pengusahaan Minyak dan Gas Bumi akan selalu memberikan kepastian hukum untuk semua pihak yang terkait, baik melalui kontrak kerja sama maupun melalui ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Yang dimaksud dengan asas “berwawasan lingkungan” adalah bahwa dalam pengusahaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi harus menjaga dan menjamin kualitas fungsi lingkungan yang baik.

 

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Berdasarkan jiwa dari Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dimiliki dan dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, baik perseorangan, masyarakat, maupun pelaku usaha, sekalipun memiliki hak atas sebidang tanah di permukaan tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki Minyak dan Gas Bumi yang terkandung dibawah tanah tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Yang dimaksud dengan “obyek vital nasional” adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi, dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis, termasuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam Minyak Dan Gas Bumi.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

 

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Huruf a

Yang dimaksud dengan ”titik penyerahan” adalah titik penjualan minyak atau gas bumi.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Produksi komersial merupakan nilai lifting atas Minyak Dan Gas Bumi setelah dikurangi biaya produksi dan pajak setelah Minyak Dan Gas Bumi berada pada titik penyerahan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Izin Usaha dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan pengawasan dan pengendalian terhadap badan usaha.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 20

Yang dimaksud dengan “pengolahan di lapangan” adalah pemisahan minyak mentah dari komponen lainnya seperti air.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Daerah tertentu seperti di kawasan timur Indonesia yang sulit dijangkau dalam mengakses Bahan Bakar Minyak.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Daerah tertentu seperti di kawasan timur Indonesia yang sulit dijangkau dalam mengakses Bahan Bakar Gas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Mengutamakan penggunaan perbankan dan asuransi nasional khususnya dalam kegiatan ekspor Minyak dan Gas Bumi.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Ayat (1)

Neraca Minyak Bumi Dan Gas Bumi terdiri dari  cadangan diam dan cadangan rahasia yaitu cadangan yang besar jumlahnya tidak nampak di neraca dan besarnya tidak mudah diketahui. Cadangan ini dapat dibentuk dengan cara mengadakan penilaian yang lebih rendah pos aktiva dari nilai yang sebenarnya atau mengadakan penilaian yang lebih tinggi pos hutang dari nilai yang sebenarnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 60

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Bagian negara merupakan hasil ekspor Minyak dan Gas Bumi dan  hasil penjualan Minyak dan Gas Bumi di dalam negeri.

Huruf b

Ketentuan ini didasarkan pada pengertian bahwa Kontraktor Kontrak Kerja Sama tetap diwajibkan membayar iuran tetap sesuai luas Wilayah Kerja sebagai imbalan atas “kesempatan” untuk melakukan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.

Iuran produksi dikenakan pada Kontraktor Kontrak Kerja Sama, sebagai kompensasi atas pengambilan kekayaan alam Minyak Dan Gas Bumi yang tak terbarukan.

Pungutan negara yang menjadi penerimaan Pemerintah merupakan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “bonus” adalah bonus data, bonus tanda tangan, dan bonus produksi yang didasarkan pada pencapaian tingkat produksi kumulatif tertentu.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Kewajiban mendukung kelancaran dan kelangsungan Kegiatan Hulu Minyak Dan Gas Bumi di daerahnya, antara lainkelancaran pembebasan lahan dan pemberian perizinan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Pembinaan yang dilakukan Pemerintah dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi didasarkan pada penguasaan negara atas sumber daya alam dan cabang cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Pasal 71

Ayat (1)

Huruf a

Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dimaksud dalam ketentuan ini meliputi antara lain: penyebarluasan informasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan teknologi, peningkatan nilai tambah produk, penerapan standardisasi, pemberian akreditasi, pembinaan industri/badan usaha penunjang, pembinaan usaha kecil/menengah, pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pemeliharaan keselamatan dan kesehatan kerja, pelestarian lingkungan hidup, penciptaan iklim investasi yang kondusif, serta pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (2)

Kebijakan pembinaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi sesuai dengan kebijakan di bidang energi nasional dan berkoordinasi dengan Dewan Energi Nasional.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

 

Pasal 93

Cukup jelas.

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …

 

Jakarta, 10 September 2018

    Pimpinan Badan Legislasi DPR RI

Ketua,

 

 

 

  1. Supratman Andi Agtas, SH., MH.

A-388

 

Wakil Ketua,

 

 

 

Arif Wibowo

A-193

 

Wakil Ketua,

 

 

 

M. Sarmuji, SE., MS.i.

A-287

 

 

Wakil Ketua,

 

 

 

H. Totok Daryanto, SE.

A-489

 

 

Wakil Ketua,

 

 

 

Dr. H. Dossy Iskandar Prasetyo

A-554

 

 

Advertisement

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s