Omnibus Law RUU Cipta Kerja & Kegiatan Hilir Migas
Oleh : Siraj El Munir Bustami
Berikut informasi yang diringkas dari Naskah Akademik RUU Cipta Kerja yang berjumlah ribuan halaman kemudian penulis kaitkan dengan Kegiatan Hilir Migas di Indonesia. Adapun Klaster lain tidak dibahas di sini.
I. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki 3 tantangan yang membuat ekonomi Indonesia masih kalah bersaing dengan negara tetangga :
- Daya saing yang relatif rendah
- S&P Global Ratings, Fitch Ratings & Moody’s membandingkan kemudahan berusaha dan daya saing Indonesia tertinggal terutama dengan negara tetangga.
- Pemerintah mengadopsi indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) untuk mengetahui respon pelaku usaha terhadap antara lain perizinan, peraturan perundang-undangan, pelayanan pemerintah, akses terhadap keuangan, dan kepastian Hukum dan Indonesia jauh tertinggal dengan negara lain termasuk sesama Negara ASEAN.
- Perlambatan pertumbuhan ekonomi
- Pertumbuhan ekonomi yang kurang merata.
Ketiga persoalan di atas membuat Indonesia kurang diminati investor padahal Indonesia memiliki potensi yang besar yakni ;
- Sumber Daya Alam yang melimpah
- Bonus Demografi yang sangat besar sehingga mampu menyediakan jumlah tenaga kerja yang produktif
- Jumlah penduduk yang besar adalah potensial pasar yang besar
- Perbaikan Infrastruktur yang kian memadai untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Salah satu strategi pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi adalah melakukan reformasi regulasi di bidang perizinan berusaha. Reformasi yang perlu dilakukan ditujukan untuk menyelesaikan hambatan investasi, yakni panjangnya rantai birokrasi, peraturan yang tumpang tindih, dan banyaknya regulasi yang tidak harmonis terutama dalam regulasi pusat dan daerah (hyper-regulation).
Oleh karena itu, diperlukan deregulasi terhadap ketentuan mengenai perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMK-M) termasuk koperasi, pengadaan lahan, pengembangan kawasan ekonomi, pelaksanaan proyek pemerintah, serta ketentuan mengenai administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi pidana yang diatur dalam berbagai Undang-Undang.
OMNIBUS LAW
Dalam hal proses deregulasi ini dilakukan secara biasa (business as usual) yaitu dengan mengubah satu persatu Undang-Undang, maka akan sulit untuk diselesaikan secara terintegrasi dalam waktu cepat. Maka dari itu, diperlukan penerapan metode “Omnibus Law”, dengan membentuk 1 (satu) Undang-Undang tematik yang mengubah berbagai ketentuan yang diatur dalam berbagai undang-undang lainnya.
“Omnibus Law” merupakan sebuah praktik penyusunan peraturan perundang- undangan, yang banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem “common law/anglo saxon” seperti Amerika, Kanada, Inggris, Filipina dan lainnya. Prosesnya disebut “Omnibus Legislating” dan produknya disebut “Omnibus Bill”. Kata Omnibus berasal dari bahasa latin yang artinya segalanya atau semuanya (for everything).
Dalam melakukan penataan regulasi, teknik legislasi baru yakni teknik Omnibus Law pun diterapkan. Dengan menggunakan teknik Omnibus Law, persoalan dalam berbagai Undang-Undang tersebut dapat diselesaikan tanpa harus merevisi berbagai Undang-Undang yang substansinya terkait dengan perizinan, melainkan cukup dengan membuat 1 (satu) Undang-Undang baru yang mengamandemen pasal dalam beberapa Undang-Undang. Dalam sebuah Undang-Undang “Omnibus” mencerminkan sebuah integrasi, kodifikasi peraturan yang tujuan akhirnya adalah untuk mengefektifkan penerapan peraturan tersebut. Teknik legislasi “omnibus law” dari segi teoritis maupun praktis masih belum terlalu dikenal di Indonesia.
TUJUAN
RUU Cipta Kerja bertujuan untuk meciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya dengan cara :
- Meningkatkan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha
- Memberikan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan UMK-M dan Koperasi
- Meningkatkan investasi Pemerintah dan mempercepat Proyek Strategis Nasional
II. ISI RUU CIPTA KERJA
Ada banyak peraturan perundang-undangan yang ditata agar sesuai dengan kebutuhan hukum dalam rangka penciptaan lapangan pekerjaan terkait dengan tiga kebijakan pokok yaitu penciptaan ekosistem investasi, pemberdayaan UMK-M dan peningkatan investasi Pemerintah. Undang-undang tersebut dibagi menjadi 11 Klaster sesuai dengan 3 kebijakan pokok yakni :
A. Investasi, yaitu menciptakan ekosistem investasi melalui pengaturan:
-
- Penyederhanaan Perizinan Berusaha—yang meliputi 18 sektor (Klaster 1);
- Persyaratan Investasi (Klaster 2);
- Ketenagakerjaan (Klaster 3);
- Kemudahan Berusaha (Klaster 5);
- Dukungan Riset dan Inovasi (Klaster 6);
- Pengadaan Lahan (Klaster 9);
- Kawasan Ekonomi (Klaster 11);
B. UMK-M termasuk koperasi, yaitu menciptakan kemudahan dan perlindungan UMK-M termasuk koperasi melalui pengaturan:
-
- Kriteria UMK-M (Klaster 4);
- Basis Data Tunggal (Klaster 4);
- Collaborative Processing (Klaster 4);
- Kemudahan Perizinan Tunggal (Klaster 4);
- Kemitraan, Insentif dan Pembiayaan (Klaster 4);
C. Pemerintah, yaitu Investasi dan Proyek Pemerintah yang menjadi sumber penciptaan lapangan kerja melalui pengaturan:
-
- Investasi Pemerintah (Klaster 10);
- Kemudahan Proyek Pemerintah (Klaster 10);
Klaster tersebut di atas merupakan klaster pokok dalam Penciptaan Lapangan Kerja. Di luar itu, masih terdapat dua klaster pendukung :
-
- Administrasi Pemerintahan (Klaster 7); dan
- Pengenaan Sanksi (Klaster 8).
Dalam rangka peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha maka Klaster tentang Penyederhanaan Perizinan Berusaha terdiri dari 18 Sektor dimana diharapkan para pelaku usaha atau investor dapat tertarik :
-
- Perizinan Lokasi
- Perizinan Lingkungan
- Perizinan Bangunan Gedung (IMB dan SLF)
- Perizinan Sektor Pertanian
- Perizinan Sektor Kehutanan
- Perizinan Sektor Kelautan dan Perikanan
- Perizinan Sektor ESDM
- Perizinan Sektor Ketenaganukliran
- Perizinan Sektor Perindustrian
- Perizinan Sektor Perdagangan
- Perizinan Sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan
- Perizinan Sektor Pariwisata
- Perizinan Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
- Perizinan Sektor Keagamaan
- Perizinan Sektor Transportasi
- Perizinan Sektor PUPR
- Perizinan Sektor Pos, Telekomunikasi, dan penyiaran
- Perizinan Sektor Pertahanan dan Keamanan
Berikut Undang-Undang yang dilakukan penataan, hanya pasal-pasal terkait dalam rangka perluasan penciptaan lapangan pekerjaan saja yang diubah, dihapus atau ditambah dengan pengaturan baru dalam RUU Cipta Kerja ini :
- Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
- Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
- Undang-Undang 6 Tahun 2017 tentang Arsitek
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
- Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
- Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran
- Undang-Undang 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
- Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah
- Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
- Undang–Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
- Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 jo. Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie);
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
III. KEGIATAN HILIR MIGAS DALAM RUU CIPTA KERJA
SEKTOR ESDM
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, Undang-Undang Cipta Kerja ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan barubeberapa ketentuan yang diatur dalam :
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi;
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
SUB SEKTOR MIGAS
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Minyak dan Gas Bumi) yang ditata dalam RUU Cipta Kerja yang terkait dengan kegiatan usaha hulu dan hilir Migas sebagai berikut :
- Ketentuan Pasal 1 ayat 21 diubah :
- Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1 ayat 21 UU Minyak dan Gas Bumi
- Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri;
- Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam
strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah melalui kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
(3) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi.
- Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan.
(2) Pemerintah Pusat sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dapat membentuk atau menugaskan Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
(3) Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat.
(4) Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi melalui kerja sama dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
(5) Pemerintah Pusat menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang akan bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Kerja sama antara Badan Usaha Milik Negara Khusus dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan Kontrak Kerja Sama.
(7) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu:
- penerimaan negara;
- Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
- kewajiban pengeluaran dana;
- perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
- jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
- penyelesaian perselisihan;
- kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
- berakhirnya kontrak;
- kewajiban pascaoperasi pertambangan;
- keselamatan dan kesehatan kerja;
- pengelolaan lingkungan hidup;
- pengalihan hak dan kewajiban;
- pelaporan yang diperlukan;
- rencana pengembangan lapangan;
- pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
- pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat; dan
- pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Pasal 4 UU Minyak dan Gas Bumi
(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
(3) Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23
- Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi terdiri atas:
- Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi; dan
- Kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi.
(3) Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
- eksplorasi; dan
- eksploitasi.
(4) Kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
- pengolahan;
- pengangkutan;
- penyimpanan; dan
- niaga.
Pasal 5 UU Minyak dan Gas Bumi
Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas :
- Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup :
- Eksplorasi;
- Eksploitasi.
- Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup :
- Pengolahan;
- Pengangkutan;
- Penyimpanan;
- Niaga.
- Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Pemerintah Pusat selaku pemegang Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) memberikan Perizinan Berusaha pada setiap Wilayah Kerja kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
(2) Perizinan Berusaha kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu yang operasinya dilakukan secara sendiri.
Pasal 11 UU Minyak dan Gas Bumi
(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.
(2) Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu :
- penerimaan negara;
- Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
- kewajiban pengeluaran dana;
- perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
- jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
- penyelesaian perselisihan;
- kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
- berakhirnya kontrak;
- kewajiban pascaoperasi pertambangan;
- keselamatan dan kesehatan kerja;
- pengelolaan lingkungan hidup;
- pengalihan hak dan kewajiban;
- pelaporan yang diperlukan;
- rencana pengembangan lapangan;
- pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
- pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
- pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
- Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Wilayah Kerja yang akan ditawarkan Badan Usaha
Milik Negara Khusus ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
Wilayah Kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12 UU Minyak dan Gas Bumi
(1) Wilayah Kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah.
(2) Penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
- Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Badan Usaha yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kegiatan:
- usaha pengolahan;
- usaha pengangkuatan;
- usaha penyimpanan; dan/atau
- usaha niaga.
(3) Perizinan Berusaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai dengan peruntukan kegiatan usahanya.
(4) Permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan menggunakan sistem perizinan terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 23 UU Minyak dan Gas Bumi
(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapat Izin Usaha dari Pemerintah.
(2) Izin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas :
- Izin Usaha Pengolahan;
- Izin Usaha Pengangkutan;
- Izin Usaha Penyimpanan;
- Izin Usaha Niaga.
(3) Setiap Badan Usaha dapat diberi lebih dari 1 (satu) Izin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan sanksi administratif terhadap:
- pelanggaran salah satu persyaratan yang tercantum dalam Perizinan Berusaha;
- tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25 UU Minyak dan Gas Bumi
(1) Pemerintah dapat menyampaikan teguran tertulis, menangguhkan kegiatan, membekukan kegiatan, atau mencabut Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berdasarkan :
- pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tercantum dalam Izin Usaha;
- pengulangan pelanggaran atas persyaratan Izin Usaha;
- tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Sebelum melaksanakan pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah terlebih dahulu memberikan kesempatan selama jangka waktu tertentu kepada Badan Usaha untuk meniadakan pelanggaran yang telah dilakukan atau pemenuhan persyaratan yang ditetapkan.
- Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
- meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;
- menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
- memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
- melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
- meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
- memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
- memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
- mengambil sidik jari dan identitas orang;
- menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
- menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
- mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
- mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
- menghentikan proses penyidikan;
- meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
- melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.
Pasal 50 UU Minyak dan Gas Bumi
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomon 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:
- melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang diterima berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
- melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
- memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
- menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
- melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi danmenghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
- menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
- mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
- menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal peristiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.
(5) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Hilir tanpa Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif berupa denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah);
(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 53 UU Minyak dan Gas Bumi
Setiap orang yang melakukan :
- Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
- Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);
- Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);
- Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
- Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 55
Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
Pasal 55 UU Minyak dan Gas Bumi
Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
- Di antara Pasal 64 dan 65 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 64A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64A
(1) Sebelum terbentuknya Badan Usaha Milik Negara Khusus:
- kegiatan usaha hulu migas tetap dilaksanakan berdasarkan kontrak kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap;
- kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap tetap berlaku; dan
- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tetap melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi.
(2) Dengan terbentuknya Badan Usaha Milik Negara Khusus:
- semua hak dan kewajiban serta akibat yang timbul terhadap Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dari Kontrak Kerja Sama, beralih kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus; dan
- kontrak lain yang berkaitan dengan Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada huruf a antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan pihak lain beralih kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus.
(3) Semua kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak.
(4) Hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak, perjanjian, atau perikatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilaksanakan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sampai dengan terbentuknya Badan Usaha Milik Negara Khusus.
HILIR MIGAS
Dari paparan di atas dapat disimpulkan terkait Kegiatan usaha Hilir Migas yang diatur dalam RUU Cipta Kerja “Omnibus Law” yang berasal dari UU No. 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ada pada Pasal – Pasal berikut :
Pasal 4
(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah melalui kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
(3) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi.
Pasal 5
(1) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi terdiri atas:
- Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi; dan
- Kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi.
(3) Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
- eksplorasi; dan
- eksploitasi.
(4) Kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
- pengolahan;
- pengangkutan;
- penyimpanan; dan
- niaga.
Pasal 23
(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Badan Usaha yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kegiatan:
- usaha pengolahan;
- usaha pengangkuatan;
- usaha penyimpanan; dan/atau
- usaha niaga.
(3) Perizinan Berusaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai dengan peruntukan kegiatan usahanya.
(4) Permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan menggunakan sistem perizinan terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 25
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan sanksi administratif terhadap
- pelanggaran salah satu persyaratan yang tercantum dalam Perizinan Berusaha;
- tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 50
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
- meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;
- menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
- memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
- melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
- meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
- memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
- memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
- mengambil sidik jari dan identitas orang;
- menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
- menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
- mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
- mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
- menghentikan proses penyidikan;
- meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
- melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.
Pasal 53
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Hilir tanpa Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif berupa denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah);
(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 55
Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). (…)
Daftar Pustaka :
- RUU Cipta Kerja
- Naskah Akademik RUU Cipta Kerja
- UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi